Rabu, 13 Mei 2009

PERUBAHAN SUDUT PANDANG PENYALURAN KREDIT KE UMKM

Peranan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai tiang penyangga perekonomian nasional pada saat krisis ekonomi sangat besar. Hal ini didukung oleh hasil riset Bank Indonesia (2001) yang menunjukkan bahwa sepanjang krisis ekonomi ternyata hanya 4 persen UMKM yang mengalami kebangkrutan, 31 persen mengurangi skala usahanya, dan sekitar 65 persen lainnya tidak mengalami perubahan berarti dalam kinerja usahanya. Kenyataan ini berlawanan dengan kondisi usaha besar yang mayoritas mengalami kemunduran usaha. 
Namun demikian, masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh UMKM yang membutuhkan suatu pendekatan secara integratif dalam pemecahannya. Salah satu kendala usaha yang banyak dikeluhkan pengusaha UMKM adalah tambahan dana untuk kebutuhan modal kerja dan investasi. Beberapa penyebab sulitnya UMKM memperoleh tambahan modal kerja maupun investasi dikarenakan:
1) UMKM masih belum memiliki laporan keuangan yang tersusun baik beserta kelengkapan administrasi pendukungnya (bukti-bukti transaksi keuangan),
2) Kebanyakan di antara UMKM masih belum bisa menyusun business plan yang baik sebagai salah satu syarat ketentuan pengajuan proposal pembiayaan kredit usaha,
3) Beberapa UMKM khususnya pemilik usaha mikro dan kecil, banyak yang tidak memiliki agunan sebagai salah satu syarat jaminan pengucuran kredit oleh lembaga keuangan.
Di sisi lain, lembaga keuangan mempunyai kendala juga di dalam menyalurkan kredit kepada UMKM. Kendala penyaluran kredit lembaga keuangan terhadap UMKM terlihat dari masih rendahnya nilai Loan to Deposit Ratio (LDR). Ada banyak perdebatan mengenai penyebab rendahnya LDR baik secara nasional maupun di DIY. Perdebatan yang mengemuka di antaranya saling menimpakan penyebab tersebut pada pihak lain. Pihak UMKM menyatakan bahwa pihak perbankan memberikan persyaratan pengajuan kredit yang terlalu menyulitkan UMKM. Salah satu syarat pengajuan kredit yang paling dirasakan sulit dipenuhi oleh UMKM khususnya mikro dan kecil adalah agunan. Sementara di sisi lain, pihak perbankan menyatakan bahwa mereka telah membuka peluang seluas-luasnya bagi UMKM untuk mengajukan penambahan modal usaha. Pihak perbankan menyatakan juga bahwa rendahnya LDR disebabkan oleh rendahnya permintaan kredit dari pengusaha itu sendiri.
Perdebatan mengenai pihak mana yang sebenarnya mengakibatkan rendahnya realisasi penyaluran dana UMKM tidak terlalu penting untuk dikemukakan. Alangkah baiknya apabila masing-masing pihak justru saling bekerjasama. Kedua belah pihak sama-sama mempunyai kepentingan dalam mengoptimalkan penyaluran dana UMKM. Pihak UMKM berkepentingan untuk meningkatkan modal usahanya. Pihak perbankan berkepentingan untuk menyalurkan dana tersebut. Saat ini yang dibutuhkan adalah adanya kerjasama antara berbagai pihak untuk berkomitmen mengembangkan UMKM melalui kompetensi yang dimilikinya masing-masing.
Sedikitnya ada tiga pihak (tiga pilar) yang diharapkan dapat bekerjasama dengan baik untuk bersama-sama mengembangan UMKM. Ketiga pilar tersebut adalah lembaga keuangan, lembaga pendamping bisnis dan pemerintah. Masing-masing pihak mempunyai peran utama masing-masing. 

Lembaga keuangan sebagai salah satu pihak yang sebenarnya juga berkepentingan dalam kegiatan usahanya mempunyai peran membantu UMKM dari sisi penambahan modal usaha, baik modal kerja maupun investasi. Lembaga keuangan yang dimaksud di sini adalah bank dan non bank. Lembaga keuangan dapat memberikan pelatihan bagi UMKM dalam menyusun proposal pengembangan usaha yang feasible. Sosialisasi kepada UMKM harus terus dilakukan oleh lembaga keuangan terkait dengan prosedur pengajuan kredit beserta syarat-syaratnya.

Pilar kedua dalam pengembangan UMKM adalah lembaga pendamping bisnis (Business Development Services Provider). Lembaga pendamping bisnis ini berperan utama dalam membantu UMKM meningkatkan kesehatan dan kinerja usahanya. Peran lain dari lembaga pendamping bisnis adalah:
1) membantu UMKM menyusun administrasi keuangan yang tertata dengan baik,
2) membantu UMKM menyusun business plan,
3) mendampingi UMKM dalam mengajukan proposal pengembangan usaha kepada lembaga keuangan,
4) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) UMKM.
Ada banyak pihak yang dapat dimasukkan dalam pilar kedua ini, antara lain: lembaga swadaya masyarakat (LSM), pusat-pusat penelitian dan perguruan tinggi.

 Pilar ketiga adalah pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah pusat berperan menciptakan iklim perekonomian yang kondusif bagi perkembangan UMKM. Peran penting lainnya adalah menciptakan berbagai kebijakan melalui peraturan perundang-undangan maupun peraturan pemerintah yang menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada UMKM. Pemerintah daerah dalam era otonomi daerah mempunyai peran yang tidak kalah pentingnya. Pemerintah daerah juga dapat membantu pengembangan UMKM melalui berbagai kebijakan ekonomi yang menunjukkan keberpihakan kepada UMKM di daerahnya. Pemerintah pusat dan daerah dapat membantu UMKM melakukan promosi hasil usahanya dalam lingkup nasional maupun internasional.

Selain menjalin kerjasama yang kuat antar lembaga yang terkait dengan pengembangan UMKM, juga dituntut adanya perubahan paradigma setidaknya cara pandang dalam memahami permasalahan UMKM. UMKM memiliki karakteristik usaha yang bermacam-macam. Oleh karenanya diperlukan skema pembiayaan yang bermacam-macam pula sesuai dengan karakter usaha yang mereka tekuni. Sebagai contoh, karakter usaha kerajinan berbeda dengan trading, pertanian, peternakan, industri pengolahan dan jenis usaha lainnya. Masing-masing jenis usaha membutuhkan skema pembiayaan yang mestinya tidak seragam. Kalangan perbankan dituntut untuk lebih kreatif mengembangkan berbagai model pembiayaan yang dapat diakses dengan mudah oleh UMKM. Perbankan dituntut berpikir kreatif dengan keterbatasan aturan yang membelitnya untuk memproduksi berbagai skim pembiayaan yang kapabel bagi UMKM. Bukan sebaliknya, UMKM dituntut untuk memenuhi syarat-syarat bank teknis yang kadang sulit dijangkau oleh sebagian besar UMKM. Perbankan yang memiliki basis pendidikan lebih baik dibandingkan pelaku UMKM, semestinya melakukan penyesuaian terhadap berbagai aturan yang mereka buat. Selanjutnya, berbagai macam skim pembiayaan tersebut harus disosialisasikan kepada para UMKM melalui berbagai macam media. Melalui kegiatan ini diharapkan asymmetric information yang terjadi selama ini dapat dikurangi hingga batas minimal. Wajah perbankan kita diharapkan dapat berubah lebih ramah bagi UMKM. 
Harus disadari bahwa tidak berhasilnya target pengucuran kredit ke UMKM selama ini lebih dikarenakan masih sulitnya UMKM memenuhi persyaratan bank teknis (UMKM dianggap belum bankable). Anggapan ini harus dirubah menjadi sebenarnya perbankanlah yang belum UMKMable. Perubahan sudut pandang ini mensyaratkan bahwa selain UMKMnya dituntut untuk berubah lebih tertib dan baik, perbankan juga harus melakukan perubahan. Tuntutan agar UMKM menjadi bankable seharusnya bukan sebagai jurang yang terjal bagi UMKM yang benar-benar memerlukan uluran tangan perbankan untuk meningkatkan kinerja usahanya. Sebaliknya, perbankan juga dituntut untuk berempati dan jeli dalam menangkap peluang bisnis yang dikelola oleh para UMKM. 

Melalui kerjasama tripilar dan perubahan sudut padang di atas, diharapkan asymmetric information antara perbankan dengan UMKM selama ini akan semakin berkurang. Hubungan antara perbankan dengan UMKM menjadi lebih mesra sehingga akan menguntungkan keduanya pada khususnya dan perekonomian bangsa pada umumnya. Tanpa adanya kemauan untuk saling memahami dan mendekatkan diri, maka jarak antara perbankan dan UMKM akan tetap terus lebar. Akhirnya, hanya sedikit UMKM yang dapat mengakses pembiayaan usaha ke bank.